Sinopsis

De Singapoorsche papieroorlog. Buku De Singapoorsche Papieroorlog karya P.H. van der Kemp adalah sebuah kajian sejarah yang mendalam mengenai konflik diplomatik antara Belanda dan Inggris terkait pendirian Singapura oleh Sir Stamford Raffles pada tahun 1819. Judulnya merujuk pada “perang kertas” — yaitu pertukaran surat resmi, protes, dan dokumen antara pejabat kolonial kedua negara, bukan konflik bersenjata. Isi dan Fokus Utama Buku: Menyajikan korespondensi resmi antara gubernur dan pejabat tinggi Belanda dan Inggris dari Februari 1819 hingga sekitar 1824. Mengungkap bagaimana Belanda terus memprotes pendirian Singapura oleh Inggris, yang dianggap melanggar kesepakatan wilayah di Kepulauan Melayu. Menyoroti kelemahan diplomatik Belanda, yang hanya mengandalkan surat protes tanpa tindakan tegas di lapangan. Mengkritisi narasi Inggris yang cenderung meremehkan peran dan klaim Belanda, terutama dalam karya-karya seperti Life of Sir Stamford Raffles oleh D.C. Boulger. Menyertakan dokumen-dokumen penting seperti instruksi Lord Hastings kepada Raffles, laporan Farquhar, dan tanggapan dari pejabat Belanda seperti Elout dan Fagel. Nilai Historis: Buku ini memperlihatkan bahwa pendirian Singapura bukanlah proses yang mulus, melainkan hasil dari ketegangan diplomatik yang intens. Menawarkan perspektif Belanda yang sering kali terpinggirkan dalam historiografi kolonial, terutama dalam narasi Inggris yang dominan. Menjadi sumber primer penting bagi studi tentang rivalitas kolonial di Asia Tenggara, khususnya dalam konteks Traktat London 1824 yang akhirnya meresmikan pembagian wilayah antara Inggris dan Belanda. Berdasarkan isi De Singapoorsche Papieroorlog karya P.H. van der Kemp dan dokumen-dokumen diplomatik yang dikaji di dalamnya, Singapura memang pernah dianggap oleh pihak Belanda sebagai bagian dari wilayah pengaruh kolonial mereka, khususnya sebagai bagian dari Kesultanan Johor-Riau yang berada dalam orbit politik dan ekonomi VOC serta pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang klaim Belanda: Belanda merujuk pada perjanjian tahun 1784 antara VOC dan Kesultanan Riau-Johor, yang menyatakan bahwa wilayah Johor, Pahang, Riau, dan pulau-pulau sekitarnya merupakan satu kesatuan kerajaan di bawah pengaruh Belanda. Ketika Inggris mendirikan pos dagang di Singapura tahun 1819 melalui perjanjian dengan Sultan Hussein dan Temenggong Abdul Rahman, Belanda memprotes keras karena menganggap tindakan itu melanggar hak mereka atas wilayah tersebut. Penyelesaian diplomatik: Setelah serangkaian protes dan negosiasi yang berlangsung hingga tahun 1824, Belanda akhirnya secara resmi melepaskan klaim atas Singapura melalui Pasal 12 Traktat Anglo-Belanda 1824, yang menetapkan batas pengaruh kolonial antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Traktat ini juga secara efektif memecah Kesultanan Johor-Riau, dengan Selat Singapura menjadi garis pemisah antara pengaruh Inggris dan Belanda. Jadi, meskipun Singapura tidak pernah secara de facto menjadi koloni Belanda, secara de jure dan dalam pandangan Belanda, wilayah itu termasuk dalam zona pengaruh mereka hingga tahun 1824. Buku van der Kemp mengungkapkan betapa intens dan kompleksnya “perang kertas” antara dua kekuatan kolonial dalam memperebutkan Singapura.


Related Sources in Our Collections

----

UGM Research Collections Link

----

Perhatian: Dokumen yang berukuran besar mungkin akan muncul lebih lama.